Selasa, 18 Agustus 2015

Mafia Advertorial

Dua sisi mata uang, Media entah apakah itu online, cetak, elektronik adalah merupakan tumpukan hasil karya Jurnalis. Dan sebaliknya Wartawan adalah orang yang mengabdikan dirinya untuk membuat karya terbaik dari, oleh dan untuk publik.

Dari berbagai sudut pandang karya dibuat tentunya juga akan dijuri oleh publik. Berarti begitu penting keduanya harus saling melengkapi.


"Media yang sehat"
Adalah media yang memang didedikasikan buat dinikmati orang banyak. Menjadi simbol kebenaran dan suri tauladan, serta pengungkapan fakta. Didalamnya ada nilai keadilan, kebenaran, membahagiakan, dan berartistik. Tetapi tidak sedikit media sakit bahkan lebih sangar lagi dapat dikatakan "media busuk". Hal ini dikatakan demikian karena media tersebut telah meninggalkan unsur-unsur estetika dan etika jurnalistik akibat syarat dengan aroma pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pelaku medianya. Entah itu dilakukan oleh Perusahaan medianya, oleh Wartawannya bahkan "keculasan" kedua-duanya. Motifnya tentu banyak, mungkin kepentingan sesaat, dan terutama fulus...


"Wartawan ber-etika"
Setiap wartawan yang profesional tentu telah dibekali pendidikan jurnalistik yang memadai, dan mentaati kode etik serta perundang-undangan. Dan atitude yang lain hingga kesan profesional itu tampak, dan itu hasil seleksi dari publik juga sebagai justicernya.

Namun tidak sedikit wartawan dalam kegiatan kewartawanannya melabrak semua ketentuan itu. Hingga dikenal wartawan bodrek, wartawan copet, wartawan tanpa surat kabar. Hal ini muncul dari hasil juri publik tadi. Dari kesemua itu ada yang lebih parah yakni "wartawan busuk" demi kepentingan sesaat dan juga fulus...

Salah satu yang paling jahat adalah yang melakukan pembohongan publik, mafia advertorial, dan keculasan berkedok profesional dan senioritas. Inilah yang harus diberantas. Koran dicetak hanya untuk mengejar advertorial, bahkan tidak diedarkan untuk dibaca oleh khalayak melainkan di"peti es"kan saja. Dicetak 1 kali terbit dengan tanggal berbeda dan jumlah advertorial menumpuk sampai 10 halaman advertorial cetak 3 bulan sekali tetapi mengaku koran harian agar dibayar mahal.

Hal semacam ini bukan hanya sudah melanggar etika jurnalisme tetapi sudah mengarah kepada pidana. Dan ini erat keterkaitannya antara perusahaan, wartawan dan pemberi kerja. Inilah yang terjahat dalam kegiatan jurnalistik dikenal dengan sebutan seram "mafia advertorial" Apalagi pelaku adalah orang yang punya kedekatan khusus dengan pengambil kebijakan. Entah Sibijak ini ikut atau namanya dicatut untuk memuluskan kegiatan mafiosonya.... Dirgahayu negeri yang baru seumur jagung ini...... Semoga para" tikus" bisa dibunuh sebelum ladang negeri ini dipenuhi hama yang satu ini (PL)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Komentar via Facebook